Khasiat Kunyit Penangkal Virus Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit radang hati yang ditularkan melalui pemakaian jarum suntik atau benda-benda lain yang bisa melukai tubuh, antara lain pisau cukur, secara bergantian. Diperkirakan 170 juta orang di seluruh dunia mengidap penyakit ini, sementara di Indonesia angkanya berkisar antara 5-7 juta orang.
Pengobatan untuk penyakit ini masih sangat terbatas dan harganya tidak terjangkau orang kebanyakan. Padahal jika tidak diobati, 80 persen infeksi hepatitis C berkembang menjadi kronis, memicu sirosis atau pengerasan hati dengan berbagai komplikasi termasuk kematian akibat kanker hati.
Harapan baru akan hadirnya obat murah untuk mencegah infeksi hepatitis C makin mendekati kenyataan setelah Angga Kusuma, peneliti Indonesia di Twincore, Jerman menemukan bukti baru soal efektivitas kurkumin dalam kunyit sebagai antivirus.
"Kurkumin menghambat infeksi HCV (Hepatitis C Virus) dengan cara mempengaruhi fleksibilitas dari membran si virus sehingga menghambat proses masuk si virus ke dalam target sel hati manusia," jelas kandidat doktor di Hannover Medical School ini kepada detikHealth melalui surat elektronik, seperti ditulis pada Senin (16/9/2013).
Dalam kondisi normal, membran atau selubung virus hepatitis C bersifat cair sehingga virus mudah masuk ke dalam sel-sel hati. Kurkumin membuatnya rigid atau kaku dengan cara menembus masuk ke dalam membran lalu mengubah susunan molekulnya.
Dalam sebuah laporan di jurnal internasional GUT, salah satu terbitan British Medical Journal, pada 7 Agustus 2013, Angga menyebutkan bahwa temuan ini bermanfaat untuk mencegah reinfeksi virus hepatitis C yang sering dialami pasien transplantasi hati. Bagi yang sudah terinfeksi, kurkumin juga mencegah infeksi yang lebih parah akibat masuknya virus lebih banyak, karena kurkumin menghalangi transmisi antarsel.
Belum dipakai sebagai antiinfeksi
Di kalangan medis, efek anti-infeksi dari kurkumin ini belum banyak dimanfaatkan dalam penanganan hepatitis C. Kurkumin, dalam bentuk kunyit maupun ekstraknya, selama ini hanya dimanfaatkan sebagai hepatoprotektor untuk mencegah kerusakan sel-sel hati yang antara lain dipicu oleh infeksi virus.
"Kalau hubungannya dengan hepatitis, saya pikir karena kunyit punya efek hepatoprotektif," kata dr Aldrin Neilwan P, MARS, M.Biomed, M.Kes, SpAk, pakar herbal sekaligus Kepala Unit Pengobatan Alternatif dan Komplementer RS Kanker Dharmais.
Penggunaannya pun bukan tanpa risiko. Dikatakan dr Aldrin, kurkumin dalam kunyit memiliki efek antiplatelet atau anti-pembekuan darah sehingga bisa berinteraksi dengan obat-obat dengan efek yang sama. Selain itu, konsumsi kunyit secara berlebihan dalam jangka panjang bisa mengiritasi mukosa lambung karena mengandung minyak atsiri.
Pemanfaatan kunyit lainnya adalah untuk memperlambat terjadinya fibrosis, yakni salah satu tahap menuju sirosis atau pengerasan hati. Terapi antifibrosis kerap dipakai karena pengobatan untuk membunuh virus hepatitis C, yakni kombinasi pegylated interferon dan ribavarin, masih sangat mahal yakni Rp 2,5 juta sekali suntik, dan harus diberikan tiap minggu sekurang-kurangnya selama selama 1 tahun.
"Obat-obat antifibrosis itu tadi, herbal termasuk di dalamnya. Alternatif bagi yang belum sanggup mengakses pengobatan interferon," kata Dr Unggul Budihusodo, SpPD, KGEH, pakar hepatologi dari RS Cipto Mangunkusumo yang juga mantan Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI).
Banyak hambatan
Pakar formulasi berbasis nanoteknologi dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Heni Rachmawati, menanggapi positif temuan Angga. Heni memperkirakan, pengembangan obat alternatif untuk hepatitis C memang mengarah pada pemanfaatan herbal.
"Menurut saya potensinya sangat besar, karena kunyit adalah obat tradisional yang sangat murah, dan mudah didapat," kata Heni yang juga banyak meneliti pengobatan hepatitis.
Di kalangan peneliti, kunyit sejak lama dikenal memiliki efek terapi, tidak sekedar efek hepatoprotektif seperti yang dipakai di kalangan medis selama ini. Menurut Heni, salah satu efek terapinya adalah sebagai antivirus.
Angga sendiri enggan berspekulasi soal peluang mengembangkan kunyit sebagai obat hepatitis, setidaknya dalam waktu dekat ini. Untuk menjadikannya sebagai obat yang aplikatif, dibutuhkan uji klinis lebih lanjut yang tentunya butuh waktu bertahun-tahun.
Angga juga menghadapi masalah dengan formulasi. Kurkumin biasa memiliki bioavailibility atau ketersediaan hayati yang rendah sehingga sukar diamati dalam uji in vivo. Angga dan timnya harus berkolaborasi dengan ITB untuk membuat formulasi baru berupa nano-kurkumin.
Mengenai vaksin hepatitis C yang hingga kini belum ditemukan, Angga menyebut persoalan etika sebagai salah satu kendalanya. Pengembangan vaksin membutuhkan uji in vivo yang tidak bisa dilakukan pada sembarang hewan uji.
"Secara alamiah, virus hepatitis C hanya bisa menyebabkan infeksi pada manusia dan simpanse," jelas Angga.
Meski begitu, Angga menilai temuannya ini cukup memberikan harapan. Dengan memanfaatkan kunyit, bahan alam yang berlimpah di dalam negeri, Indonesia dinilainya punya peluang besar untuk mengembangkan sendiri obat-obat penting termasuk obat hepatitis C
Sumber: Detik
Hepatitis C adalah penyakit radang hati yang ditularkan melalui pemakaian jarum suntik atau benda-benda lain yang bisa melukai tubuh, antara lain pisau cukur, secara bergantian. Diperkirakan 170 juta orang di seluruh dunia mengidap penyakit ini, sementara di Indonesia angkanya berkisar antara 5-7 juta orang.
Pengobatan untuk penyakit ini masih sangat terbatas dan harganya tidak terjangkau orang kebanyakan. Padahal jika tidak diobati, 80 persen infeksi hepatitis C berkembang menjadi kronis, memicu sirosis atau pengerasan hati dengan berbagai komplikasi termasuk kematian akibat kanker hati.
Harapan baru akan hadirnya obat murah untuk mencegah infeksi hepatitis C makin mendekati kenyataan setelah Angga Kusuma, peneliti Indonesia di Twincore, Jerman menemukan bukti baru soal efektivitas kurkumin dalam kunyit sebagai antivirus.
"Kurkumin menghambat infeksi HCV (Hepatitis C Virus) dengan cara mempengaruhi fleksibilitas dari membran si virus sehingga menghambat proses masuk si virus ke dalam target sel hati manusia," jelas kandidat doktor di Hannover Medical School ini kepada detikHealth melalui surat elektronik, seperti ditulis pada Senin (16/9/2013).
Dalam kondisi normal, membran atau selubung virus hepatitis C bersifat cair sehingga virus mudah masuk ke dalam sel-sel hati. Kurkumin membuatnya rigid atau kaku dengan cara menembus masuk ke dalam membran lalu mengubah susunan molekulnya.
Dalam sebuah laporan di jurnal internasional GUT, salah satu terbitan British Medical Journal, pada 7 Agustus 2013, Angga menyebutkan bahwa temuan ini bermanfaat untuk mencegah reinfeksi virus hepatitis C yang sering dialami pasien transplantasi hati. Bagi yang sudah terinfeksi, kurkumin juga mencegah infeksi yang lebih parah akibat masuknya virus lebih banyak, karena kurkumin menghalangi transmisi antarsel.
Belum dipakai sebagai antiinfeksi
Di kalangan medis, efek anti-infeksi dari kurkumin ini belum banyak dimanfaatkan dalam penanganan hepatitis C. Kurkumin, dalam bentuk kunyit maupun ekstraknya, selama ini hanya dimanfaatkan sebagai hepatoprotektor untuk mencegah kerusakan sel-sel hati yang antara lain dipicu oleh infeksi virus.
"Kalau hubungannya dengan hepatitis, saya pikir karena kunyit punya efek hepatoprotektif," kata dr Aldrin Neilwan P, MARS, M.Biomed, M.Kes, SpAk, pakar herbal sekaligus Kepala Unit Pengobatan Alternatif dan Komplementer RS Kanker Dharmais.
Penggunaannya pun bukan tanpa risiko. Dikatakan dr Aldrin, kurkumin dalam kunyit memiliki efek antiplatelet atau anti-pembekuan darah sehingga bisa berinteraksi dengan obat-obat dengan efek yang sama. Selain itu, konsumsi kunyit secara berlebihan dalam jangka panjang bisa mengiritasi mukosa lambung karena mengandung minyak atsiri.
Pemanfaatan kunyit lainnya adalah untuk memperlambat terjadinya fibrosis, yakni salah satu tahap menuju sirosis atau pengerasan hati. Terapi antifibrosis kerap dipakai karena pengobatan untuk membunuh virus hepatitis C, yakni kombinasi pegylated interferon dan ribavarin, masih sangat mahal yakni Rp 2,5 juta sekali suntik, dan harus diberikan tiap minggu sekurang-kurangnya selama selama 1 tahun.
"Obat-obat antifibrosis itu tadi, herbal termasuk di dalamnya. Alternatif bagi yang belum sanggup mengakses pengobatan interferon," kata Dr Unggul Budihusodo, SpPD, KGEH, pakar hepatologi dari RS Cipto Mangunkusumo yang juga mantan Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI).
Banyak hambatan
Pakar formulasi berbasis nanoteknologi dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Heni Rachmawati, menanggapi positif temuan Angga. Heni memperkirakan, pengembangan obat alternatif untuk hepatitis C memang mengarah pada pemanfaatan herbal.
"Menurut saya potensinya sangat besar, karena kunyit adalah obat tradisional yang sangat murah, dan mudah didapat," kata Heni yang juga banyak meneliti pengobatan hepatitis.
Di kalangan peneliti, kunyit sejak lama dikenal memiliki efek terapi, tidak sekedar efek hepatoprotektif seperti yang dipakai di kalangan medis selama ini. Menurut Heni, salah satu efek terapinya adalah sebagai antivirus.
Angga sendiri enggan berspekulasi soal peluang mengembangkan kunyit sebagai obat hepatitis, setidaknya dalam waktu dekat ini. Untuk menjadikannya sebagai obat yang aplikatif, dibutuhkan uji klinis lebih lanjut yang tentunya butuh waktu bertahun-tahun.
Angga juga menghadapi masalah dengan formulasi. Kurkumin biasa memiliki bioavailibility atau ketersediaan hayati yang rendah sehingga sukar diamati dalam uji in vivo. Angga dan timnya harus berkolaborasi dengan ITB untuk membuat formulasi baru berupa nano-kurkumin.
Mengenai vaksin hepatitis C yang hingga kini belum ditemukan, Angga menyebut persoalan etika sebagai salah satu kendalanya. Pengembangan vaksin membutuhkan uji in vivo yang tidak bisa dilakukan pada sembarang hewan uji.
"Secara alamiah, virus hepatitis C hanya bisa menyebabkan infeksi pada manusia dan simpanse," jelas Angga.
Meski begitu, Angga menilai temuannya ini cukup memberikan harapan. Dengan memanfaatkan kunyit, bahan alam yang berlimpah di dalam negeri, Indonesia dinilainya punya peluang besar untuk mengembangkan sendiri obat-obat penting termasuk obat hepatitis C
Sumber: DetikHepatitis C adalah penyakit radang hati yang ditularkan melalui pemakaian jarum suntik atau benda-benda lain yang bisa melukai tubuh, antara lain pisau cukur, secara bergantian. Diperkirakan 170 juta orang di seluruh dunia mengidap penyakit ini, sementara di Indonesia angkanya berkisar antara 5-7 juta orang.
Pengobatan untuk penyakit ini masih sangat terbatas dan harganya tidak terjangkau orang kebanyakan. Padahal jika tidak diobati, 80 persen infeksi hepatitis C berkembang menjadi kronis, memicu sirosis atau pengerasan hati dengan berbagai komplikasi termasuk kematian akibat kanker hati.
Harapan baru akan hadirnya obat murah untuk mencegah infeksi hepatitis C makin mendekati kenyataan setelah Angga Kusuma, peneliti Indonesia di Twincore, Jerman menemukan bukti baru soal efektivitas kurkumin dalam kunyit sebagai antivirus.
"Kurkumin menghambat infeksi HCV (Hepatitis C Virus) dengan cara mempengaruhi fleksibilitas dari membran si virus sehingga menghambat proses masuk si virus ke dalam target sel hati manusia," jelas kandidat doktor di Hannover Medical School ini kepada detikHealth melalui surat elektronik, seperti ditulis pada Senin (16/9/2013).
Dalam kondisi normal, membran atau selubung virus hepatitis C bersifat cair sehingga virus mudah masuk ke dalam sel-sel hati. Kurkumin membuatnya rigid atau kaku dengan cara menembus masuk ke dalam membran lalu mengubah susunan molekulnya.
Dalam sebuah laporan di jurnal internasional GUT, salah satu terbitan British Medical Journal, pada 7 Agustus 2013, Angga menyebutkan bahwa temuan ini bermanfaat untuk mencegah reinfeksi virus hepatitis C yang sering dialami pasien transplantasi hati. Bagi yang sudah terinfeksi, kurkumin juga mencegah infeksi yang lebih parah akibat masuknya virus lebih banyak, karena kurkumin menghalangi transmisi antarsel.
Belum dipakai sebagai antiinfeksi
Di kalangan medis, efek anti-infeksi dari kurkumin ini belum banyak dimanfaatkan dalam penanganan hepatitis C. Kurkumin, dalam bentuk kunyit maupun ekstraknya, selama ini hanya dimanfaatkan sebagai hepatoprotektor untuk mencegah kerusakan sel-sel hati yang antara lain dipicu oleh infeksi virus.
"Kalau hubungannya dengan hepatitis, saya pikir karena kunyit punya efek hepatoprotektif," kata dr Aldrin Neilwan P, MARS, M.Biomed, M.Kes, SpAk, pakar herbal sekaligus Kepala Unit Pengobatan Alternatif dan Komplementer RS Kanker Dharmais.
Penggunaannya pun bukan tanpa risiko. Dikatakan dr Aldrin, kurkumin dalam kunyit memiliki efek antiplatelet atau anti-pembekuan darah sehingga bisa berinteraksi dengan obat-obat dengan efek yang sama. Selain itu, konsumsi kunyit secara berlebihan dalam jangka panjang bisa mengiritasi mukosa lambung karena mengandung minyak atsiri.
Pemanfaatan kunyit lainnya adalah untuk memperlambat terjadinya fibrosis, yakni salah satu tahap menuju sirosis atau pengerasan hati. Terapi antifibrosis kerap dipakai karena pengobatan untuk membunuh virus hepatitis C, yakni kombinasi pegylated interferon dan ribavarin, masih sangat mahal yakni Rp 2,5 juta sekali suntik, dan harus diberikan tiap minggu sekurang-kurangnya selama selama 1 tahun.
"Obat-obat antifibrosis itu tadi, herbal termasuk di dalamnya. Alternatif bagi yang belum sanggup mengakses pengobatan interferon," kata Dr Unggul Budihusodo, SpPD, KGEH, pakar hepatologi dari RS Cipto Mangunkusumo yang juga mantan Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI).
Banyak hambatan
Pakar formulasi berbasis nanoteknologi dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Heni Rachmawati, menanggapi positif temuan Angga. Heni memperkirakan, pengembangan obat alternatif untuk hepatitis C memang mengarah pada pemanfaatan herbal.
"Menurut saya potensinya sangat besar, karena kunyit adalah obat tradisional yang sangat murah, dan mudah didapat," kata Heni yang juga banyak meneliti pengobatan hepatitis.
Di kalangan peneliti, kunyit sejak lama dikenal memiliki efek terapi, tidak sekedar efek hepatoprotektif seperti yang dipakai di kalangan medis selama ini. Menurut Heni, salah satu efek terapinya adalah sebagai antivirus.
Angga sendiri enggan berspekulasi soal peluang mengembangkan kunyit sebagai obat hepatitis, setidaknya dalam waktu dekat ini. Untuk menjadikannya sebagai obat yang aplikatif, dibutuhkan uji klinis lebih lanjut yang tentunya butuh waktu bertahun-tahun.
Angga juga menghadapi masalah dengan formulasi. Kurkumin biasa memiliki bioavailibility atau ketersediaan hayati yang rendah sehingga sukar diamati dalam uji in vivo. Angga dan timnya harus berkolaborasi dengan ITB untuk membuat formulasi baru berupa nano-kurkumin.
Mengenai vaksin hepatitis C yang hingga kini belum ditemukan, Angga menyebut persoalan etika sebagai salah satu kendalanya. Pengembangan vaksin membutuhkan uji in vivo yang tidak bisa dilakukan pada sembarang hewan uji.
"Secara alamiah, virus hepatitis C hanya bisa menyebabkan infeksi pada manusia dan simpanse," jelas Angga.
Meski begitu, Angga menilai temuannya ini cukup memberikan harapan. Dengan memanfaatkan kunyit, bahan alam yang berlimpah di dalam negeri, Indonesia dinilainya punya peluang besar untuk mengembangkan sendiri obat-obat penting termasuk obat hepatitis C
Sumber: Detik
0 komentar:
Posting Komentar