Syekh
 Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar 
al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad 
Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten 
pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi 
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di 
Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai 
tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di 
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan
 Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak 
peninggalan Syekh Nawawi Banten. Ayahnya bernama Kiai Umar, dari 
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari 
Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu 
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama 
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad 
melalui Imam Ja’far As-Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal 
Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Ayahnya,
 ‘Umar Ibnu’ Arabi adalah penghulu kecamatan di Tanara. Beliau mengajar 
sendiri putera-puteranya (Nawai, Tamim dan ahmad) pengetahuan dasar 
dalam bahasa Arab, fiqh dan tafsir. Ketiga putera tersebut kemudian 
melanjutkan pelajarannya kepada Kyai Sahal (masih di daerah Banten). 
Setelah itu mereka melanjutkan lagi pelajaran di Purwakarta kepada Kyai 
Yusuf, seorang Kyai terkenal yang menarik santri-santri dari 
daerah-daerah jauh di seluruh jawa, terutama dari daerah Jawa Barat 
waktu itu. Kemudian mereka melakukan ibadah haji sewaktu masih muda. 
Syekh Nawawi waktu itu berumur 15 tahun mendapat kesempatan untuk pergi 
ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama 3 tahun. 
Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra 
Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun 
belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah 
ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya 
mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan 
kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya 
membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri 
yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu
 dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan 
berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap
 di sana. Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang 
terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas 
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul
 Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu 
belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di 
Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. 
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan
 Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan 
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di 
Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syekh Nawawi mulai 
mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup 
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat 
sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia 
harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya 
diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). 
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang 
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu 
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk 
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam 
setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. 
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar 
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap 
sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang 
lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya 
pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan. Rupanya 
kehidupan intelektual di mekkah sangat menarik hati sang syakh, sebab 
tidak lama setelah ia tiba di Banten ia kemudian belajar lagi ke Mekkah 
dan tinggal di sana seterusnya sampai meninggalnya. 
Dalam
 menyusun karyanya syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama 
besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh 
mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya 
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan
 bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke 
daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan 
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syekh 
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 
14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ 
al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa 
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Kesibukannya dalam 
menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga 
tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan 
siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai 
metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri 
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu 
sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai 
tidak mengalami kesulitan.
Nama
 Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. 
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik
 madzhab Syafi’i, Imam Nawawi. Melalui karya-karyanya yang tersebar di 
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak 
dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai
 umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap 
majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai 
ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya 
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di
 lembaga-lembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan 
komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama 
penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Syekh Nawawi telah 
banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis 
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak 
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang 
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama 
(NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak 
bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah 
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, 
seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan 
Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena 
besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi. Mengungkap jaringan 
intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan
 kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi 
bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama 
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu 
faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi 
pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami 
sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam 
sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik 
praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang 
bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa 
heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak 
muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan 
progressif.
Mereka
 tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi 
intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri 
untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari 
akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten 
merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran 
demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, 
suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan 
secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya 
pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para 
tokoh ulama di Indonesia, syeck Nawawi dapat dikatakan sebagai poros 
dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di 
sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar 
yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan 
perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Antara
 1860 – 1870 ia mengajar di Masjid Haram dalam waktunya yang senggang, 
sebab antara tahun-tahun tersebut Nawawi sudah aktif menulis buku-buku. 
Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis. 
Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan-tulisannya meliputi 
karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada 
tafsir Al-Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari 2 jilid, yang 
diterbitkan di mesir tahun 1887. sarkis menyebutkan 38 karya Syekh 
Nawawi yang penting. beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang 
terbit di Mesir antara lain:
1.       Syarah Al-Jurummiyah, isinya tatabahasa Arab, terbit tahun 1881. 
2.       Lubab Al-Bayan (1884). 
3.       Dhariyat Al-Yaqin; isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh Sanusi, terbit 1886. 
4.       Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Adurr Al-Farid, karya Syekh Nawawi (guru Nawawi) yang terbit  tahun
 1881, dan 3 buah buku lagi yang berisi, selain doktrin-doktrin pokok, 
uraian tentang lima bagian-bagian penting daripada hukum Islam dan lima 
rukun Islam. 
5.       Dua
 jilid komentar tentang syair mauled karya Al Barzanji. Karya ini sangat
 penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan mauled. 
6.       Syarah Isro’ Miraj juga karangan Al Barzanji 
7.       Syarah tentang Syair Asmaul Husna 
8.       Syarah Manasik Haji karangan Syarbani yang tertbit tahun 1880. 
9.       Syarah Suluk Al-Jiddah (1983) 
10.   Syarah
 Sullam Al-Manajah (1884) yang membahas tentang berbagai persoalan 
ibadah. (Buku asli no. 9 dan 10 dikarang oleh Syekh Hadrami). 
11.   Tafsir murah Labib. 
Karya-karya
 besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari 
Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni 
bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika.
 Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir 
yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya 
ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang 
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang 
keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat
 kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara 
konprehenshif-utuh. Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku 
dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). 
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya 
Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, 
al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat 
al-Su’ud.
Sejalan
 dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi
 mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur 
al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak 
memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai
 bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, 
karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam 
tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang 
pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah 
sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, 
sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. 
Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah 
Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil 
memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri
 ini. Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus 
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di 
antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk 
meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan 
Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat
 di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan 
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema
 yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah 
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi 
menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah
 antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, 
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui 
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep 
jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu 
dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia 
tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia 
sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali 
ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir 
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia 
dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem 
terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak 
dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme 
pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu 
kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan 
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah 
dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya 
dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep 
penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada 
kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh 
kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam 
pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para
 muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa 
kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial
 Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam 
ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi 
melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara
 di bidang fikih tidak berlebihan jika Syekh Nawawi dikatakan sebagai 
“obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya 
fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat 
a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga 
Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna 
Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk 
mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. 
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di 
berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada 
tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya 
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka 
tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal 
melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sejauh
 itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya 
mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam
 bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari 
karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak 
memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan 
standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda 
mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan 
tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al 
Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin 
alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap 
tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya 
(pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi 
yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan 
pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan 
masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti 
guru-gurunya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya 
terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat 
erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi 
mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan 
hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal 
berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat
 merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara 
hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini 
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat
 selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan 
dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan
 konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya 
terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan
 tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf 
inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia 
lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf 
Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel 
dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak 
porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru 
menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam 
formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara 
fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal 
ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai 
seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan 
dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari 
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah
 dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) 
sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh 
melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat
 ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak 
mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia
 spiritual ilmu batin.
Bagi
 Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah
 semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam 
kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata 
tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya
 tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). 
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap 
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh 
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di 
Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan 
“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk 
mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai
 oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. 
Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa 
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi
 ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia 
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan 
politik.
Setelah
 karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan 
di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van 
Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum 
pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam 
catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di 
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan 
yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan 
tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia 
yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa 
dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib yang telah berjasa
 mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh 
al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam 
bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya
 karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh 
pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. 
Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di 
Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di 
sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Dari
 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak 
dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya 
adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran 
murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh 
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam 
juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari 
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul 
Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari 
Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun 
dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh 
Nawawi, Nyi Salmah binti Rukayah binti Nawawi, K.H Tubagus Muhammad 
Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung 
Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung 
Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, 
Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran 
karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah 
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Mereka berjasa dalam 
menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar 
di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim 
Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar
 kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di 
pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk 
kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. 
Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah 
Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama 
Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang 
reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya 
Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya 
pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid 
Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan 
pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam 
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang 
berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh 
Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi 
tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian
 ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut 
mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan 
referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan 
sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith 
(tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekh para 
pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar
 sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam 
transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim 
Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi
 sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf 
saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana 
penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana 
penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran
 ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
 sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat 
ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan 
tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai 
konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal 
ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim
 antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang 
cenderung rasionalistik di sisi lain.
Sebagaimana
 disebutkan di muka bahwa kitab-kitab karya al-Syeikh Muhammad Nawawi 
al-Bantani itu berkenaan dengan bidang-bidang fiqh, tauhid, tasawuf, 
tafsir, hadis, dan bahasa Arab, pembahasan-pembahasan dalam 
kitab-kitabnya itu kadangkala dalam satu kitab terdapat banyak bidang. 
Karena itu bidang bahasan ilmu fiqh dalam karya-karya al-Syeikh Muhammad
 Nawawi, tidak hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata menampilkan 
judul fiqh. Untuk melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syeikh Muhammad 
Nawawi yang tertuang dalam karya-karya yang hampir seluruhnya berbentuk 
syarah, perlu dilihat kualitas setiap karyanya itu. Seperti :1. Kasyifah al-SajaKitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiqh dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i.
 Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian 
tentang ushul al-din dan al-fiqh, namun ternyata dalam isi-nya jauh 
lebih banyak bidang fiqhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada 
bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama 
yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun 
Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63
 fasal, adalah bidang fiqh, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan 
(baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang puasa.2. Sulam al-MunajatKitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah al-Shalah karya al-Sayid 'Abd Allah bin 'Umar al-Hadrami.
 Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan praktis tentang shalat, dari 
sejak cara-cara bersuci sampai dengan pelaksanaan shalat, menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
 Mengenai sistematika isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian 
yaitu, pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berisi hamdalah dan shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna kalimat Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat.
 Melihat porsi isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab 
fiqh. Karena singkatnya uraian, maka dalam buku itu tidak menunjukkan 
dalil-dalil, masalah-masalah, dan alternatif-alternatif yang mungkin ada
 di luar tuntunan shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mazhab Imam al-Syafi'i.3. al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'atAl-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab kecil yang ia sebut mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad al-Badi'at fi Ushul al-Din wa Ba'ad Furu' al-Syari'at 'ala al-Imam al-Syafi'i. Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at. Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad al-Badi'at berarti kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan fi ushul al-din wa ba'ad furu' al-syari'ah yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din (akidah) dan sebagian kecil bidang syari'ah, namun dalam uraiannya ternyata sangat lebih banyak bidang fiqh. Karena itu, ungkapan wa ba'ad furu' al-syari-'ah,
 dinyatakan oleh al-Syeikh Nawawi, maksudnya ialah sisi tertentu bidang 
tasawuf. Ungkapan ini didukung oleh struktur dan sistematika kitab matan
 ini yang sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya, 
kitab matan membagi uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang 
akidah, bidang fiqh, dan bidang tasawuf. Bidang-bidang tersebut 
ditempatkan pada bagian-bagian kitab yaitu, bidang akidah ditempatkan 
pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khuthbah al-kitab 
(muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan bidang
 tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya 
dinyatakan dengan khatimah.4. 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-ZawjainDalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah mengenai kehidupan suami isteri yang disusun oleh seseorang di antara para penasehat (al-Nashihin).
 Al-Syeikh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama orang dimaksud yang 
menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang 
penasehat itu adalah al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia 
menamai kitab syarah ini, ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha (وسميتها); يamir ha (ها) tidak mungkin kembali kepada kalimat syarah (شرح), tapi yang mungkin ialah kepada kalimat al-risalah (الرساله). Pada kitab-kitab syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu (وسميته), dengan menggunakan damir hu (هُ).
 Dan syarah dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu, sebab 
risalah yang disebutkannya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan 
subyeknya saja, yaitu persoalan  suami isteri (umur al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu'i, bahwa Nawawi adalah pengarang.
 5. Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'inKitab Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, adalah syarah atas kitab fiqh beraliran madzhab Imam al-Syafi'i, oleh penulisnya, Zain al-Din 'Abd al-'Aziz al-Mali-bari, diberi nama Qurrah al-'Ain bi Muhimmat al-Din. Karena ada pensyarahan maka berarti ada kitab matan, dan yang dimaksud adalah kitab Qurrah al-'Ain itu. Kitab matan ini, karena pendeknya uraian, yang oleh penulisnya disebut mukhtashar (teks
 uraiannya singkat), memang dirasa perlu ada pengembangan, atau ada yang
 menjadikannya sebagai standard penguraian-penguraian yang luas. Kaitan 
dengan hal ini, ternyata kitab matan tersebut disyarahi oleh dua orang, 
yaitu oleh penulis matan itu sendiri yakni al-Syeikh Zain al-Din ibn 'Abd
 al-Aziz al-Malibari (hidup pada abad ke-10 Hijriyah), dan oleh 
al-Syeikh Muhamamad Nawawi al-Bantani. Syarah yang disusun oleh penulis 
matannya diberi nama Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-'Ain. Adapun kitab syarah atas kitab matan yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani diberi nama Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in.6. Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'ilAl-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab yang kemudian diberi nama Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il. Terlihat dari namanya, kitab ini adalah syarah atas sebuah kitab yang bernama al-Risalat al-Jami'ah bayna Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf,
 karya al-Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi. Karena ada kitab syarah, maka 
berarti ada pula penyebutan kitab matan, yang dalam hal ini adalah kitab
 al-Risalah tersebut di atas, dan kitab syarah adalah Bahjah al-Wasa'il itu.7. Qut al-Habib al-GharibPada awal abad ke-13 Hijriyah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani selesai menyusun kitab yang diberi nama Qut al-Habib al-Gharib. Kitab ini merupakan tawsyih (pengembangan dari kitab syarah) yang, pengarang-pengarang lain semacam ini menyebutnya hasyiyah, terhadap kitab syarah yang bernama Fath al-Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasim al-Syafi'i. Kitab standard (matan) yang disyarahinya ialah Ghayat al-Taqrib karya Abu Syuja' Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad al-Asfihani, sebuah kitab fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
 Memperhatikan hal di atas, terlihat adanya tingkatan penulisan kitab, 
yakni kitab matan, kitab syarah, dan kitab tawsyih; kitab Qut al-Habib 
al-Gharib adalah tingkatan yang ketiga.8. Mirqat Shu'ud al-TashdiqAl-Syeikh 'Abd Allah ibn al-Husain ibn Hakim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba'alawi (w. 1266 H.), menulis kitab kecil tentang tasawuf, fiqh, dan kalam, yang kemudian diberi nama Sulam al-Tawfiq. Pembahasan dalam kitab ini disusun berbentuk pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 37 pasal.  Pasal-pasal
 tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama, 3 pasal 
mengenai ilmu kalam; bagian kedua, 23 pasal mengenai ilmu fiqh; dan 
bagian ketiga, 11 pasal mengenai ilmu tasawuf. Meskipun sudah ada 
pembagian-pem-bagian seperti itu, namun ternyata pada bagian-bagian ilmu
 kalam dan ilmu tasawuf, terdapat pembahasan ilmu fiqh. Misalnya hukum 
murtad dalam kajian akidah; pidana peminum khamer, penuduh zina, denda 
zhihar, pidana pencurian, pembunuhan, zina, dan perampokan, ada dalam 
pembahasan ilmu tasawuf. Isi uraian dalam kitab matan ini sangat 
singkat, tidak mengemukakan dalil-dalil dan tidak mendefinisikan 
konsep-konsep.10. Maraqi al-'UbudiyatAbu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat.
 Kitab ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, 
menghindari maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu 
lebih bersifat tata krama karenanya, kitab ini bisa dimasukkan 
pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh 
al-Syeikh Muhammad Nawawi, dan kitab syarah itulah yang kemudian diberi 
nama oleh penulisnya dengan Maraqi al-'Ubudiyat. Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayatdisebut kitab matan.11. Tanqih al-Qawl al-HasisKitab Tanqih al-Qawl al-Hasis adalah syarah atas kitab Lubab al-Hadis karya al-Hafizh Jalal al-Din 'Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Sayuthi. Karena ada syarah (Tanqih al-Qawl al-Hasis) maka kitab Lubab al-Hadis adalah kitab matan. Kitab Lubab al-Hadis adalah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis tentang bermacam-macam keutamaan (fadilat).
 Materi pokok yang mempunyai keutamaan-keutamaan itu secara garis besar 
meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan, lafazh-lafazh tauhid, akidah, 
ibadah, mu'amalah,
 jinayah, akhlak, dan tasawuf. Seluruh pembahasannya dikelompokkan pada 
40 bab. Hadits-hadits yang dihimpun dalam seluruh bab itu, oleh 
penulisnya, tidak dicantumkan isnad-nya dengan maksud untuk meringkas. Lalu dikatakan oleh penulisnya bahwa hadis-hadis yang dihimpun itu semuanya adalah hadis shahih.12. Marah Labid li Kasyfi Ma'na al-Qur'an al-MajidAl-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab tafsir al-Qur'an setebal dua jilid yang, menurutnya selesai ditulis pada tanggal 4 Rabi' al-Akhir tahun 1305 Hijriyah. Kitab tafsir ini tergolong pada corak tartibi,
 sebab menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan ayat dalam 
mushhaf, tidak berdasar pada tema tertentu. Karena itu dirasakan sulit 
menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu tema yang 
oleh ayat-ayat itu disebut-kan. Meskipun demikian, dalam kitab tafsir 
itu juga al-Syeikh Muhammad Nawawi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan 
dengan hukum (ayat ahkam). Hasil-hasil penafsirannya itu adalah berarti 
fiqh (hukum-hukum syara'). Karena itu dalam tafsir ini juga berarti ada pembahasan fiqh secara langsung.13. Qami' al-ThughyanSalah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan nazham atau dalam bentuk sya'ir, dinamakan oleh penulisnya dengan Syu'ub al-Iman. Penulis dimaksud ialah al-Syeikh Zein al-Din ibn 'Ali ibn Ahmad al-Malibari. Sya'ir yang disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar al-Kamil.
 Sebanyak 7 bait berisi masalah akidah, 10 bait berisi masalah fiqh, dan
 9 bait mengenai tasawuf. Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang 
antar bidang-bidang pembahasannya, namun sebenarnya bidang fiqh itu 
lebih besar, karena dalam bidang akidah dan tasawuf ternyata ada 
pembahasan bidang fiqhnya. Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh 
al-Syeikh Muhammad Nawawi dengan tujuan untuk mempermudah dan memperluas
 pembahasan.14. Salalim al-FudalaAda sebuah kitab kecil yang gaya penulisannya berbentuk nazham (sya'ir), ditulis oleh seorang ulama yang bernama Zain al-Din ibn 'Ali al-Ma'bari al-Malibari. Kitab tersebut diberi nama oleh penulisnya dengan Hidayat al-Azkiya ila Thariq al-Awliya. Nazham atau sya'ir
 yang disusunnya itu seluruh-nya berjumlah 194 bait yang tersebar pada 
23 tema atau pokok bahasan termasuk pendahuluan dan penutup. Kitab ini 
kemudian disyarahi masing-masing oleh, al-Syeikh Muhammad Nawawi 
al-Bantani, dan oleh al-Sayid Bakri al-Maki ibn al-Sayid Muhammad Syatha
 al-Dimyathi.15. Nasha'ih al-IbadKitab yang bernama Nasha'ih al-Ibad ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, merupakan syarah atas kitab (matan) al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad Liyawmi al-Ma'ad, karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-'Asqalani. Kitab matan, menurut penulisnya, berisi maw'izhah (petunjuk-petunjuk kebaikan) sebanyak 214 materi, dengan rincian sebanyak 45 materi berasal dari Hadis-hadis
 Nabi, dan sebanyak 79 materi berasal dari ucapan shahabat dan 
ulama-ulama terkemuka. Dilihat dari isi pokoknya, kitab ini menunjukkan 
kitab akhlak atau tasawuf. Tetapi karena juga ada materi-materi yang 
menyangkut masalah-masalah fiqh, maka kitab ini berarti juga ada bagian 
fiqhnya. Dalam sistematika penyusunannya, kitab matan tersebut dibagi 
pada sembilan bab. Secara berurutan, dari bab satu, isi materinya 
disusun berdasarkan butir-butir dalam tiap materi. Pada bab pertama, 
yang disebut bab al-Suna'i, berisi maw'izhah-maw'izhah, yang masing-masing maw'izhah terdapat dua butir. Bab tiga (al-Sulasi), setiap maw'izhah terdiri dari tiga butir. Demikian seterusnya sampai pada bab sembilan yang isi maw'izhahnya terdapat masing-masing sepuluh butir (al-Usyuri).Di
 samping kitab-kitab yang berisi ilmu fiqh atau kitab yang di dalamnya 
ada pembahasan fiqh sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi kitab
 yang dikarang oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang berisi ilmu kalam 
(tauhid) dan sirah Nabi Muhammad SAW.  Al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Qathr al-Ghais yang merupakan syarah atas Masa'il Abi al-Lais karya al-Iman Abu al-Lais
 yang dikenal dengan nama lengkap: Nashir ibn Muhammad ibn Ahmad ibn 
Ibrahim al-Hanafi al-Samarqandi. Kitab ini membahas 17 masalah akidah. 
Di dalamnya ada terselip pembahasan bahwa perbuatan-perbuatan ibadah 
sebagaimana ditetapkan dalam dan oleh fiqh, adalah furu' dari iman, bukan hakekat iman.
.jpg)
 

 

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sumber :Perpustakaan Halwany 
Nb: Jika Tidak ada keakuratan cerita tersebut mohon maaf, dan silahkan tinggalkan Comment + untuk saya perbaiki.. Terima kasih,